Jumat, 08 Juni 2012

Catatan Piala Eropa - Asa Baru Polandia Melalui Sepakbola

Catatan Piala Eropa - Asa Baru Polandia Melalui Sepakbola
Beritabola.com Bandung - Beberapa saat jelang dimulainya Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, The Guardian menurunkan artikel karya intelektual Marxis, Terry Eagletton, yang berjudul provokatif, "Football: A Dear Friend to Capitalism".

Dalam artikel yang panjangnya hanya 7 paragraf itu, Eagletton -- dengan memplesetkan ucapan Karl Marx yang termasyhur -- menyebut candu bagi rakyat sekarang bukanlah agama, tapi sepakbola.

Eagletton menyebut pemerintahan David Cameron di Inggris saat itu sebagai kabar buruk bagi siapapun yang menginginkan perubahan yang radikal. Tetapi sepakbola bahkan jauh lebih buruk lagi daripada itu, tulis Eagletton yang karyanya tentang teori sastra Marxis sangat populer di kalangan mahasiswa sastra di Indonesia ini. "Tiap kali politisi atau pemikir sayap kanan berusaha mengalihkan perhatian rakyat dari ketidakadilan politik dan ekonomi," kata Eagletton, "solusinya selalu sama: sepakbola."

Saat artikel Eagletton itu ditulis, krisis ekonomi memang sedang membayang menyusul ambruknya Lehman Brothers. Banyak negara Eropa, bahkan termasuk Amerika, yang kelimpungan mengatasi krisis ini. Yunani, salah satu negara peserta EURO 2012, adalah salah satu negara yang paling terpukul akibat krisis ini. Sampai sekarang, Yunani masih harus bertarung dengan ancaman krisis yang masih membelit perekonomian mereka.

Polandia, tuan rumah EURO 2012 yang kebetulan dihadapi Yunani di laga pembukaan tadi malam, justru menjadi salah satu negara yang paling kebal dari krisis ekonomi ini. Saat negara-negara lain kelimpungan menghadapi krisis, pertumbuhan ekonomi Polandia justru menjadi salah satu yang tertinggi dan stabil di Eropa.

Dengan latar itulah EURO 2012 digelar di Polandia. Setelah berhasil menunjukkan kestabilan pertumbuhan ekonomi, turnamen ini diharapkan bisa kian memantapkan posisi penting Polandia di Eropa. Dan itu berarti: interaksi dan keterlibatan dengan semua proses yang berjalan di Eropa.

"Problemnya adalah tidak ada pilihan. Kita harus menyatu dengan Eropa secara bersama-sama. Harus belajar satu sama lain," kata Lech Walesa kepada kolomnis sepakbola Jonathan Wilson.

Walesa bukan hanya pernah menjadi presiden Polandia pada periode 1990-1995. Dia salah satu tokoh yang memungkinkan Polandia bisa "menyatu" dengan Eropa. Ketika Polandia masih berada di bawah pemerintahan rezim komunis, Walesa ikut mendirikan dan memimpin organisasi buruh galangan kapal di Gdanks. Lahirlah organ perlawanan Solidarnosc (Solidarity). Pemogokan 17 ribu buruh pada 1980 memaksa rezim komunis Polandia membuka pintu negosiasi. Walesa menjadi tokoh terpenting dalam pemogokan itu sekaligus menjadi salah satu negosiator buruh dengan pemerintah. Hasilnya: rezim komunis Polandia terpaksa menandatangani kesepakatan guna mengakhiri pemogokan itu pada 31 Agustus 1980.

Butuh waktu 9 tahun kemudian untuk benar-benar meruntuhkan rezim komunis di Polandia. Akan tetapi, bagi banyak kalangan, pemogokan di Gdanks yang diorganisir Walesa dan Solidarnosc itu menjadi awal keruntuhan rezim-rezim komunis di Eropa. Pemogokan itu adalah retakan pertama pada tembok yang membelah Eropa menjadi dua bagian: Barat (baca: sekutu/NATO) dan Timur (negara-negara komunis/Pakta Warsawa).

Sepakbola menjadi salah satu elemen penting perlawanan Solidarnosc di Polandia, khususnya di Gdanks. Klub lokal Gdanks, Lechia, banyak didukung oleh anggota Solidarnosc. Selama masa perlawanan itu, spanduk-spanduk dan yel-yel perlawanan Solidarnosc sering menghiasai tribun yang menjadi kandang Lechia.

Pada 28 September 1983, saat Lechia menghadapi Juventus dalam kualifikasi Piala Winners, terjadilah momen yang tak terlupakan bagi suporter Lechia, para anggota Solidarnosc dan Walesa sendiri. Walesa yang baru saja dibebaskan dari tahanan, berhasil diselundupkan ke dalam stadion. Pada pertengahan babak pertama, Walesa muncul di tribun dan langsung disambut aplaus panjang oleh massa yang hadir di stadion. Massa tak henti-hentinya meneriakkan nama Walesa dan Solidarnosc sampai akhir pertandingan.

"Semuanya terdengar sempurna," kenang Walesa kepada Jonathan Wilson. Ya, sempurna. Sebab, memang, tidak ada tempat selain tribun stadion yang saat itu bisa memberikan sedikit kebebasan. Bahkan, masih merujuk kesaksian Walesa, tribun stadion saat itu menjadi tempat di mana polisi rahasia sama sekali kehilangan kontrolnya.

Orang-orang Polandia di luar negeri juga menggelar perlawanan, lagi-lagi sepakbola menjadi salah satu mediumnya. Ketika timnas Inggris U-21 menjamu Polandia U-21 pada 7 April 1982 di London, anggota organisasi Polish Solidarity Campaign yang berbasis di Inggris menyusup ke stadion dan membentangkan spanduk serta menyanyikan lagu-lagu perlawanan. Aksi itu bukan hanya didengar mereka yang ada di stadion, tapi juga jutaan orang lain yang menyaksikannya lewat televisi. Jangan heran jika siaran langsung pertandingan timnas Polandia di Piala Dunia 1982 di Spanyol sampai harus di-delay beberapa menit untuk mengantisipasi munculnya pesan-pesan perlawanan di layar kaca.

Walesa masih bisa menyaksikan negerinya menjadi tuan rumah EURO 2012. Saat menyaksikan Polandia berhadapan dengan Yunani di laga pembukaan tadi malam, Walesa mungkin akan teringat kembali dengan laga Lechia Gdanks vs Juventus (agregat gol 10-2 untuk Juventus). Jika dulu sepakbola menjadi salah satu tempat membiaknya semangat perlawanan pada rezim komunis, kini sepakbola -- melalui EURO 2012-- justru diharapkan Walesa bisa kian mendekatkan dan mengintegrasikan Polandia dengan Eropa.

Di sinilah barangkali koinsidensi itu terlihat. Jika pada 1980 silam para buruh Polandia sukses membuat retakan pertama pada dominasi komunisme di Eropa, pada 2012 ini Polandia pula yang menjadi negara eks-komunis pertama yang menggelar turnamen besar sepakbola. Sejak runtuhnya Sovyet pada 1991 (dengan mengecualikan beberapa kota eks Jerman Timur yang menjadi host Piala Dunia 2006), baru kali ini negara eks-komunis menjadi tuan rumah event besar sepakbola (baik itu Piala Eropa atau Piala Dunia). Barulah pada 2018 nanti Piala Dunia akan digelar di Rusia.

Polandia yang mengawali kejatuhan rezim komunis di Eropa, Polandia pula yang menjadi negara eks-komunis pertama yang menggelar turnamen besar sepakbola -- yang dalam nafas artikel Terry Eagletton di atas dianggapnya sebagai "pesta candu bagi rakyat". Inilah saat di mana Polandia, dengan inisiatif sendiri, mencoba secara aktif menjadikan dirinya sebagai panggung perhatian Eropa.

Sepanjang abad 20 yang baru saja lewat, Polandia lebih banyak "dipilih" ketimbang "memilih" sebagai pusat perhatian Eropa. Bukan pilihan Polandia jika mereka harus bertempur mempertahankan diri serangan Sovyet pada dekade 1920-an. Bukan maunya Polandia jika serangan blitzkrieg Jerman ke negara mereka pada 1 September 1939 menjadi "kick-off" dimulainya Perang Dunia II. Bukan mau Polandia juga jika Hitler membangun kamp konsentrasi di Polandia. Bukan sepenuhnya mau Polandia juga jika pada 1955 negara-negara yang berada di bawah pengaruh Uni Soviet memutuskan membangun aliansi militer untuk menghadapi NATO dengan menandatangani Pakta Warsawa.

Dengan menjadi tuan rumah EURO 2012, kali ini Polandia sendiri yang memilih secara sadar untuk menjadi panggung bertemunya kekuatan-kekuatan besar (sepakbola) Eropa. Itulah kenapa Jonathan Wilson, dengan nada yang plastis, menyebut EURO 2012 ini sebagai tanda "lahirnya sebuah bangsa yang proaktif".

Bahwa proaktif di situ juga berarti proaktif membuka pintu bagi masuknya modal-modal asing, itu hal berbeda yang pantas menjadi subyek tulisan yang berbeda pula. Pernyataan Terry Eagletton tentang sepakbola memang tak sepenuhnya salah.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar